Senin, 31 Maret 2014

Fenomena KDRT di Indonesia



A.     Defenisi KDRT
Keluarga merupakan satuan terkecil dari masyarakat yang  didalamnya berlangsung proses sosialisasi, baik di bidang agama, Ilmu pengetahuan, ekonomi maupun ideologi.
Kekerasan dalam Rumah Tangga atau biasa disingkat KDRT  dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orang tua, atau pasangan.
KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang  PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.  Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);  (b)  Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga)[1][1].
Lebih ekplisit lagi, Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan  bahwa : setiap orang di larang melakukan kekerasan  dalam  rumah  tangga  terhadap  orang  dalam lingkup rumah  tangga  dengan  cara  (a)  kekeraan  fisik,  (b)  kekerasan  psikis,  (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran rumah tangga.

B.     BENTUK-BENTUK KDRT
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga secara umum menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 ada tiga, yaitu :
1.      Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6).
2.      Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7).
3.      Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4.      Penelantaran rumah tangga.[2][2].

Kekerasan seksual meliputi (pasal 8) :
1.      Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ;
2.      Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
3.      Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).

C.     FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KDRT
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi karena banyak faktor., faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture (budaya), di mana perempuan cenderung di persepsi sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Atau, misalnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak, selalu muncul pemahaman bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap sebagai mitra sehingga dalam kondisi apa pun anak harus menuruti apa pun kehendak orang tua.
Secara garis besar, KDRT terjadi karena beberapa Faktor, yaitu : Pertama, budaya Patriarkat. Kedua, interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Ketiga, Pengaruh Role Model[3][3].
Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu. Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang sepatah kata pun. Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan bahwa setiap orang punya hak yang sama, masyarakat kita sulit menerima. Jadi, persoalan kultur semacam itu ada di benak manusia dan direfleksikan dalam bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat. Istri sedikit saja mendebat suami, mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena pukul.
Selain faktor di atas adapun bentuk ketidakadilan gender diantaranya yaitu :
1.      Marginalisasi
2.      Stereo Type
3.      Kekerasan
4.      Diskriminasi/subordinasi
5.      Beban gendar yaitu fungsi wanita sangatlah penting dapat dilihat dari pekerjaannya dalam rumah tangga mampu menyelesaikan banyak tugas dalam waktu yang bersamaan[4][4].
Sedangkan menurut Musni Umar Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) penyebabnya banyak faktor : Pertama, bisa kombinasi dari banyak persoalan,  seperti faktor ekonomi, sosial,  anak, dan lain sebagainya. Kedua, ekonomi. Ketiga,  pendidikan dan iman. Keempat,  politik. Kelima,  konflik bersenjata.
Faktor dominan yang menjadi penyebab KDRT ialah ekonomi. Dalam masalah ini, setidaknya terbagi dua kelompok  yang menjadi pelaku dan korban KDRT Pertama,  mereka  sudah mapan ekonominya. Kedua,  masyarakat miskin.
Mereka yang sudah mapan ekonominya, juga bisa melakukan KDRT.  Penyebabnya bisa berbagai macam seperti  sudah mempunyai pacar atau isteri  simpanan.  Selain itu, suami-isteri  sibuk,  anak kemudian tidak  mendapat perhatian, sehingga terlibat bergaulan bebas serta Narkoba. Akibatnya, suami melakukan KDRT ke isteri sebagai pelampiasan kekesalan.
Pada masyarakat bawah, KDRT dilakukan pada umumnya  karena kesulitan ekonomi. Suami atau isteri  melakukan KDRT untuk melampiaskan depresi atau stres akibat tekanan ekonomi. Kekerasan  rumah tangga karena tekanan ekonomi, banyak yang berujung dengan kematian. Bapak membunuh anak dan isteri, kemudian bunuh diri[5][5].
Kemudian menurut Chandra Dewi Puspitasari, Beberapa penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan antara lain karena beberapa hal berikut :
1.      Adanya pengaruh dari budaya patriarki yang ada ditengah masyarakat. Ada semacam hubungan kekuasaan di dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Dalam struktur dominasi tersebut kekerasan seringkali digunakan untuk memenangkan perbedaan, menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Dari hubungan yang demikian seolah-olah laki-laki dapat melakukan apa saja kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini ada ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Muncul ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tampak pada adanya peminggiran terhadap kaum perempuan (marginalisasi), penomorduaan (subordinasi), pelabelan (stereotipe negatif), adanya beban ganda pada perempuan serta kemungkinan munculnya kekerasan pada perempuan.
2.      Adanya pemahaman ajaran agama yang keliru. Pemahaman yang keliru seringkali menempatkan perempuan (istri) sebagai pihak yang berada di bawah kekuasaan laki-laki (suami), sehingga suami menganggap dirinya berhak melakukan apapun terhadap istri. Misalnya, pemukulan dianggap sebagai cara yang wajar dalam ”mendidik” istri.
3.      Prilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat kekerasan dalam rumah tangga. Bagi anak, orang tua merupakan model atau panutan untuk anak. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru prilaku kedua orang tuanya dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Anak yang terbiasa melihat kekerasan menganggap bahwa kekerasan adalah suatu penyelesaian permasalahan yang wajar untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa hingga anakanak menjadi dewasa.
4.      Tekanan hidup yang dialami seseorang. Misalnya, himpitan ekonomi (kemiskinan), kehilangan pekerjaan (pengangguran), dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memungkinkan seseorang mengalami stress dan kemudian dapat memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga[6][6].

D.    Dampak KDRT
Dampak kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, setres, minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, gangguan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian.
Dampak psikologis lainnya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di dalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual.
Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain.
Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan kejam. Selain terjadi dampak pada istri, bisa juga kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dialami oleh anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah:
a.       Sering gugup
b.      Suka menyendiri
c.       Cemas
d.      Sering ngompol
e.       Gelisah
f.        Gagap
g.       Sering menderita gangguan perut
h.       Sakit kepala dan asma
i.         Kejam pada binatang
j.        Ketika bermain meniru bahasa dan prilaku kejam
k.      Suka memukul teman.

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan pelajaran pada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan anak sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. KDRT memberikan pelajaran pada anak laki-laki untuk tidak menghormati kaum perempuan[7][7].

E.     Pencegahan KDRT
Mencegah maraknya KDRT dengan mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang gegabah.  Sebab, secara fitrah manusia dimungkinkan menikah pada usia dini.  Apa jadinya jika remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah hanya karena khawatir terjadi KDRT?  Tentu bahayanya akan jauh lebih besar.  Pergaulan bebas akan semakin merajalela.  Oleh karena itu, tindakan KDRT seharusnya tidak dicegah dengan mengharamkan pernikahan dini.
Menilik beberapa faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan KDRT dapat dicegah dengan :
Pertama, mempersiapkan diri dengan baik ketika berniat untuk  menikah.  Persiapan yang dimaksud bukan saja persiapan materi atau jasmani, namun meliputi persiapan mental, baik menyangkut penguatan akidah, pemahaman hukum-hukum Islam khususnya tentang kehidupan suami isteri, memperkuat kepribadian Islami dan sebagainya.
Kedua,  konsisten untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler -liberalistik-kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian berat.  Sejalan dengan penguatan internal individu-individu dalam keluarga, kondisi sosial yang melingkupi mereka tidak boleh kontra produktif.  Oleh karena itu, kehidupan masyarakat harus diubah menjadi kehidupan yang melahirkan kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman.  Itulah kehidupan Islam yang menjalankan syariat Islam secara kaffah.  Upaya ini harus menjadi perhatian semua pihak jika tidak ingin laju tindak KDRT semakin kencang.
Tak seharusnya pernikahan dini menjadi kambing hitam tindak kedhaliman sistem dan manusia.  Hukum Allah SWT yang membolehkan pernikahan dini tentu membawa kabaikan bagi manusia.  Bila terdapat persoalan di balik semua itu, tentu perilaku manusialah yang layak menjadi sorotan, adakah kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
Dengan demikian, setiap muslim dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu.  Syariat telah memberi rambu-rambu yang jelas dalam setiap pelaksanaan hukum-hukumnya.  Menikah dini memang membutuhkan persiapan lebih banyak, terlebih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalistik saat ini.  Bila salah melangkah, jebakan KDRT akan siap menghadang.  Namun demikian, bukan mustahil akan terwujud kehidupan pernikahan dini yang sakinah mawaddah wa rahmah tanpa ancaman KDRT.
 
 Daftar Pustaka
http://sasaranilmu.blogspot.com/2013/04/makalah-fenomena-kekerasan-dalam-rumah.html






Tidak ada komentar:

Posting Komentar