A.
Defenisi KDRT
Keluarga merupakan
satuan terkecil dari masyarakat yang
didalamnya berlangsung proses sosialisasi, baik di bidang agama, Ilmu
pengetahuan, ekonomi maupun ideologi.
Kekerasan dalam Rumah
Tangga atau biasa disingkat KDRT dapat
diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh,
orang tua, atau pasangan.
KDRT dapat
ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan
kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan;
kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan
yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan
menggunakannya.
Berdasarkan
Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang
PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga. Demikian juga pada
pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini
meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b)
Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu,
ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga)[1][1].
Lebih ekplisit lagi,
Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 menyatakan
bahwa : setiap orang di larang melakukan kekerasan dalam
rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangga
dengan cara (a)
kekeraan fisik, (b)
kekerasan psikis, (c) kekerasan seksual, dan (d) penelantaran
rumah tangga.
B.
BENTUK-BENTUK KDRT
Bentuk-bentuk
kekerasan dalam rumah tangga secara umum menurut undang-undang No. 23 tahun
2004 ada tiga, yaitu :
1. Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat (Pasal 6).
2. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7).
3. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga.[2][2].
Kekerasan seksual meliputi (pasal 8) :
1.
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut ;
2.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
3.
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
C.
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KDRT
Kasus-kasus kekerasan
dalam rumah tangga itu terjadi karena banyak faktor., faktor terpenting adalah
soal ideologi dan culture (budaya), di mana perempuan cenderung di
persepsi sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja.
Atau, misalnya, dalam kasus kekerasan terhadap anak, selalu muncul pemahaman
bahwa anak dianggap lebih rendah, tidak pernah dianggap sebagai mitra sehingga
dalam kondisi apa pun anak harus menuruti apa pun kehendak orang tua.
Secara garis besar,
KDRT terjadi karena beberapa Faktor, yaitu : Pertama, budaya Patriarkat.
Kedua, interpretasi yang keliru atas ajaran agama. Ketiga,
Pengaruh Role Model[3][3].
Ideologi dan kultur
itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu.
Zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat barang
sepatah kata pun. Kemudian, ketika ada informasi baru, misalnya dari televisi
atau dari kampus, tentang pola budaya yang lain, misalnya yang menegaskan bahwa
setiap orang punya hak yang sama, masyarakat kita sulit menerima. Jadi,
persoalan kultur semacam itu ada di benak manusia dan direfleksikan dalam
bentuk perilaku. Akibatnya, bisa kita lihat. Istri sedikit saja mendebat suami,
mendapat aniaya. Anak berani tidak menurut, kena pukul.
Selain faktor di atas
adapun bentuk ketidakadilan gender diantaranya yaitu :
1.
Marginalisasi
2.
Stereo Type
3.
Kekerasan
4.
Diskriminasi/subordinasi
5.
Beban gendar yaitu fungsi wanita sangatlah penting dapat dilihat dari
pekerjaannya dalam rumah tangga mampu menyelesaikan banyak tugas dalam waktu
yang bersamaan[4][4].
Sedangkan menurut
Musni Umar Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) penyebabnya banyak faktor : Pertama,
bisa kombinasi dari banyak persoalan, seperti faktor ekonomi,
sosial, anak, dan lain sebagainya. Kedua, ekonomi. Ketiga,
pendidikan dan iman. Keempat, politik. Kelima,
konflik bersenjata.
Faktor dominan yang
menjadi penyebab KDRT ialah ekonomi. Dalam masalah ini, setidaknya terbagi dua
kelompok yang menjadi pelaku dan korban KDRT Pertama,
mereka sudah mapan ekonominya. Kedua, masyarakat
miskin.
Mereka yang sudah
mapan ekonominya, juga bisa melakukan KDRT. Penyebabnya bisa berbagai
macam seperti sudah mempunyai pacar atau isteri simpanan.
Selain itu, suami-isteri sibuk, anak kemudian tidak mendapat
perhatian, sehingga terlibat bergaulan bebas serta Narkoba. Akibatnya, suami
melakukan KDRT ke isteri sebagai pelampiasan kekesalan.
Pada masyarakat
bawah, KDRT dilakukan pada umumnya karena kesulitan ekonomi. Suami atau
isteri melakukan KDRT untuk melampiaskan depresi atau stres akibat
tekanan ekonomi. Kekerasan rumah tangga karena tekanan ekonomi, banyak
yang berujung dengan kematian. Bapak membunuh anak dan isteri, kemudian bunuh
diri[5][5].
Kemudian menurut
Chandra Dewi Puspitasari, Beberapa penyebab terjadinya kekerasan terhadap
perempuan antara lain karena beberapa hal berikut :
1.
Adanya pengaruh dari budaya patriarki yang ada ditengah masyarakat. Ada
semacam hubungan kekuasaan di dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan
pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Dalam struktur dominasi
tersebut kekerasan seringkali digunakan untuk memenangkan perbedaan, menyatakan
rasa tidak puas ataupun untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata. Dari
hubungan yang demikian seolah-olah laki-laki dapat melakukan apa saja kepada
perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini ada
ketidaksetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Muncul ketidakadilan gender.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender tampak pada adanya peminggiran terhadap kaum
perempuan (marginalisasi), penomorduaan (subordinasi), pelabelan
(stereotipe negatif), adanya beban ganda pada perempuan serta kemungkinan
munculnya kekerasan pada perempuan.
2.
Adanya pemahaman ajaran agama yang keliru. Pemahaman yang keliru seringkali
menempatkan perempuan (istri) sebagai pihak yang berada di bawah kekuasaan
laki-laki (suami), sehingga suami menganggap dirinya berhak melakukan apapun
terhadap istri. Misalnya, pemukulan dianggap sebagai cara yang wajar dalam
”mendidik” istri.
3.
Prilaku meniru yang diserap oleh anak karena terbiasa melihat kekerasan
dalam rumah tangga. Bagi anak, orang tua merupakan model atau panutan untuk
anak. Anak memiliki kecenderungan untuk meniru prilaku kedua orang tuanya dalam
menyelesaikan suatu permasalahan. Anak yang terbiasa melihat kekerasan
menganggap bahwa kekerasan adalah suatu penyelesaian permasalahan yang wajar
untuk dilakukan. Hal ini akan dibawa hingga anakanak menjadi dewasa.
4.
Tekanan hidup yang dialami seseorang. Misalnya, himpitan ekonomi
(kemiskinan), kehilangan pekerjaan (pengangguran), dan lain sebagainya. Hal-hal
tersebut memungkinkan seseorang mengalami stress dan kemudian dapat
memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga[6][6].
D. Dampak KDRT
Dampak kekerasan yang
dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan seperti kecemasan,
murung, setres, minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri
sendiri dan sebagainya.
Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, gangguan
menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular,
penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian.
Dampak psikologis
lainnya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki
hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban
(ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan
bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan
dan kemarahan yang tidak dapat diungkapkan.
Penderitaan akibat
penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada istri saja, tetapi menimpa
pada anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan secara langsung atau
merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya,
paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang di
dalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar
diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual.
Kehadiran anak
dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan
banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya.
Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan
menghina pasangannya.
Menyaksikan kekerasan
merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak, mereka sering kali
diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah
menyiksa ibunya sebagian berusaha menghentikan tindakan sang ayah atau meminta
bantuan orang lain.
Menurut data yang
terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh
ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakukan
kejam. Selain terjadi dampak pada istri, bisa juga kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga dialami oleh anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau
mengalami KDRT adalah:
a. Sering
gugup
b. Suka
menyendiri
c. Cemas
d. Sering
ngompol
e. Gelisah
f. Gagap
g. Sering
menderita gangguan perut
h. Sakit
kepala dan asma
i.
Kejam pada binatang
j. Ketika
bermain meniru bahasa dan prilaku kejam
k. Suka
memukul teman.
Kekerasan
dalam Rumah Tangga merupakan pelajaran pada anak bahwa kekejaman dalam
bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak
akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan.
Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan anak sesuatu yang biasa dan
baik-baik saja. KDRT memberikan pelajaran pada anak laki-laki untuk tidak
menghormati kaum perempuan[7][7].
E.
Pencegahan KDRT
Mencegah maraknya
KDRT dengan mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang gegabah. Sebab,
secara fitrah manusia dimungkinkan menikah pada usia dini. Apa jadinya
jika remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah hanya karena
khawatir terjadi KDRT? Tentu bahayanya akan jauh lebih besar.
Pergaulan bebas akan semakin merajalela. Oleh karena itu, tindakan KDRT
seharusnya tidak dicegah dengan mengharamkan pernikahan dini.
Menilik beberapa
faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan KDRT
dapat dicegah dengan :
Pertama, mempersiapkan diri
dengan baik ketika berniat untuk menikah. Persiapan yang dimaksud
bukan saja persiapan materi atau jasmani, namun meliputi persiapan mental, baik
menyangkut penguatan akidah, pemahaman hukum-hukum Islam khususnya tentang
kehidupan suami isteri, memperkuat kepribadian Islami dan sebagainya.
Kedua, konsisten
untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler
-liberalistik-kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian
berat. Sejalan dengan penguatan internal individu-individu dalam
keluarga, kondisi sosial yang melingkupi mereka tidak boleh kontra
produktif. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat harus diubah menjadi
kehidupan yang melahirkan kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman.
Itulah kehidupan Islam yang menjalankan syariat Islam secara kaffah.
Upaya ini harus menjadi perhatian semua pihak jika tidak ingin laju tindak KDRT
semakin kencang.
Tak seharusnya
pernikahan dini menjadi kambing hitam tindak kedhaliman sistem dan
manusia. Hukum Allah SWT yang membolehkan pernikahan dini tentu membawa
kabaikan bagi manusia. Bila terdapat persoalan di balik semua itu, tentu
perilaku manusialah yang layak menjadi sorotan, adakah kesalahan yang telah
dilakukan selama ini.
Dengan demikian,
setiap muslim dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu. Syariat
telah memberi rambu-rambu yang jelas dalam setiap pelaksanaan
hukum-hukumnya. Menikah dini memang membutuhkan persiapan lebih banyak,
terlebih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalistik saat ini. Bila salah
melangkah, jebakan KDRT akan siap menghadang. Namun demikian, bukan
mustahil akan terwujud kehidupan pernikahan dini yang sakinah mawaddah wa
rahmah tanpa ancaman KDRT.
Daftar Pustaka
http://sasaranilmu.blogspot.com/2013/04/makalah-fenomena-kekerasan-dalam-rumah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar