Nama : Sudoto Pinahwuhti Ari Wibowo
NPM : 16111920
Kelas : 2KA03
Konflik Organisasi
Konflik berasal dari kata kerja latin
configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya
atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
DEFNISI KONFLIK MENURUT BEBERAPA AHLI
1. Menurut taquiri dalam newstorm dan davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Menurut minnery (1985), konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
5. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (robbins, 1993).
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
DEFNISI KONFLIK MENURUT BEBERAPA AHLI
1. Menurut taquiri dalam newstorm dan davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
2. Menurut gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
3. Menurut robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Menurut minnery (1985), konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
5. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (robbins, 1993).
Jenis Konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 6
macam :
- Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
- Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
- Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
- Koonflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
- Konflik antar atau tidak antar agama
- Konflik antar politik.
Sumber Konflik
- Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang
berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu
hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan
dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
- Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang
sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
- Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para
tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi
bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang
bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu,
pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan
membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari
lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan
kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan
ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan
individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi
karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah
yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
- Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan
adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu
terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami
proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab
nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian
secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai
yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak
kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan
kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun
dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan
berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal
kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi
seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan
karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Strategi Penyelesaian Konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau
konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang
berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara
bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi antara lain sebagai berikut.
1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu
tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu.
Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang
tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan,
dan lain-lain.
2. Abitrasi, yaitu
suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan
keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti
ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat,
bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka
pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi
tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB
membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4. Konsiliasi,
yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap
penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemeapai kestabilan n Tenaga Kerja. Bertugas
menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur,
dan lain-lain.
5. Stalemate, yaitu keadaan
ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang,
lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi
karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai
contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
6. Adjudication
(ajudikasi),
yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Mengendalikan konflik berarti menjaga tingkat
konflik yang kondusif bagi perkembangan organisasi sehingga dapat berfungsi
untuk menjamin efektivitas dan dinamika organisasi yang optimal. Namun bila
konflik telah terlalu besar dan disfungsional, maka konflik perlu diturunkan
intensitasnya, antara lain dengan cara :
1. Mempertegas atau menciptakan tujuan
bersama. Perlunya dikembangkan tujuan kolektif di antara dua atau lebih unit
kerja yang dirasakan bersama dan tidak bisa dicapai suatu unit kerja saja.
2. Meminimalkan kondisi
ketidak-tergantungan. Menghindari terjadinya eksklusivisme diatara unit-unit
kerja melalui kerjasama yang sinergis serta membentuk koordinator dari dua atau
lebih unit kerja.
3. Memperbesar sumber-sumber organisasi
seperti : menambah fasilitas kerja, tenaga serta anggaran sehingga mencukupi
kebutuhan semua unit kerja.
4. Membentuk forum bersama untuk
mendiskusikan dan menyelesaikan masalah bersama. Pihak-pihak yang berselisih
membahas sebab-sebab konflik dan memecahkan permasalahannya atas dasar
kepentingan yang sama.
5. Membentuk sistem banding, dimana
konflik diselesaikan melalui saluran banding yang akan mendengarkan dan membuat
keputusan.
6. Pelembagaan kewenangan formal,
sehingga wewenang yang dimiliki oleh atasan atas pihak-pihak yang berkonflik
dapat mengambil keputusan untuk menyelesaikan perselisihan.
7. Meningkatkan intensitas interaksi
antar unit-unit kerja, dengan demikian diharapkan makin sering pihak-pihak
berkomunikasi dan berinteraksi, makin besar pula kemungkinan untuk memahami
kepentingan satu sama lain sehingga dapat mempermudah kerjasama.
8. Me-redesign kriteria
evaluasi dengan cara mengembangkan ukuran-ukuran prestasi yang dianggap adil
dan acceptable dalam menilai kemampuan, promosi dan balas jasa.
Pengertian Motivasi. Motif seringkali diartikan dengan
istilah dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan
jasmani untuk berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang
menggerakkan manusia untuk bertingkah-laku, dan di dalam perbuatannya itu
mempunyai tujuan tertentu. Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia selalu
di mulai dengan motivasi (niat). Menurut Wexley & Yukl (dalam As’ad, 1987)
motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, dapat pula diartikan hal atau
keadaan menjadi motif. Sedangkan menurut Mitchell (dalam Winardi, 2002)
motivasi mewakili proses- proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya,
diarahkanya, dan terjadinya persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter)
yang diarahkan ke tujuan tertentu.
Sedangkan menurut Gray (dalam
Winardi, 2002) motivasi merupakan sejumlah proses, yang bersifat
internal, atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya
sikap antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan- kegiatan
tertentu.
Morgan (dalam Soemanto, 1987)
mengemukakan bahwa motivasi bertalian dengan tiga hal yang sekaligus
merupakan aspek- aspek dari motivasi. Ketiga hal tersebut adalah: keadaan yang
mendorong tingkah laku (motivating states), tingkah laku yang di
dorong oleh keadaan tersebut (motivated behavior), dan tujuan dari
pada tingkah laku tersebut (goals or ends of such behavior). McDonald
(dalam Soemanto, 1987) mendefinisikan motivasi sebagai perubahan tenaga di
dalam diri seseorang yang ditandai oleh dorongan efektif dan reaksi- reaksi
mencapai tujuan. Motivasi merupakan masalah kompleks dalam organisasi, karena
kebutuhan dan keinginan setiap anggota organisasi berbeda satu dengan yang
lainnya. Hal ini berbeda karena setiap anggota suatu organisasi adalah unik
secara biologis maupun psikologis, dan berkembang atas dasar proses belajar
yang berbeda pula (Suprihanto dkk, 2003).
Soemanto (1987) secara umum mendefinisikan
motivasi sebagai suatu perubahan tenaga yang ditandai oleh dorongan
efektif dan reaksi-reaksi pencapaian tujuan. Karena kelakuan manusia itu selalu
bertujuan, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan tenaga yang memberi kekuatan
bagi tingkahlaku mencapai tujuan,telah terjadi di dalam diri seseorang.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa motivasi adalah energi
aktif yang menyebabkan terjadinya suatu perubahan pada diri sesorang yang
nampak pada gejala kejiwaan, perasaan, dan juga emosi, sehingga mendorong
individu untuk bertindak atau melakukan sesuatu dikarenakan adanya tujuan,
kebutuhan, atau keinginan yang harus terpuaskan.